Minggu, 28 Januari 2018

Mutiara Yang Tak Berguna

 
  Oleh : Ninit Mita Dewi


  Namaku Ratna. Entah mengapa kedua orangtuaku memberikan nama seperti itu. Padahal di zaman modern ini masih banyak nama yang menurutku bagus untuk diberikan. Namaku terkesan ndeso. Ah tapi aku tak terlalu mempermasalahkan itu. Orang tua selalu memberikan yang terbaik untuk kita, termasuk dalam memberikan anaknya nama. Aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Tepatnya kelas dua SMA. Pada masa-masa inilah biasanya masa yang sangat rawan bagi remaja untuk terjerumus ke jalan yang salah. Teknologi. Apabila teknologi yang saat ini kian berkembang pesat disalahgunakan maka akan berakibat fatal. Seperti kisahku.
   Aku terkenal merupakan sosok yang pendiam di sekolah. Impianku memiliki keluarga yang lengkap dan utuh hanyalah sebuah mimpi. Ketika aku duduk di bangku sekolah dasar, ibu dan ayahku memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka dan memilih jalan mereka masing-masing. Sempat aku diperebutkan di pengadilan, dan ibulah yang menang. Ya, aku sampai saat ini dihidupi oleh ibuku. Entah mengapa aku sangat benci dengan ayah. Ia telah bahagia dengan keluarga barunya di luar kota, entah mengapa ia melupakanku dan ibu, ia tidak lagi menafkahiku dan ibuku. Kami berjuang hidup tanpa bantuan dari ayah. Dalam kesederhanaan, aku sangatlah menyayangi ibuku. Tapi yang paling aku kesalkan adalah saat teman-temanku menanyakan tentang ayahku, padahal mereka sudah tau bagaimana keadaanku, tetap saja mereka mengejeku.
   "Hei Ratna! Hari ini ada pertemuan dan rapat antara orangtua dan guru, so pasti ayahku paling dahulu akan datang dan menyempatkan diri untuk menengoku. Ayahmu pasti juga datang kan? Aku ingin berkenalan dengnnya." ejek salah satu teman sekolahku yang bernama Jeny. Betapa kesalnya aku, jelas-jelas Jeny adalah tetanggaku, tentu saja dia tahu bahwa ayah tak pernah lagi menemuiku, tapi mengapa dia mengatakan itu di depan teman-teman di kelas. Benar saja, meskipun tetangga, dia membenciku.
   Jarang sekali aku bergaul dan bercerita dengan teman-temanku. Lebih baik segala sesuatunya aku ceritakan kepada ibuku. Hanya ibu yang mengerti dan menyayangiku di dunia ini. Ia lebih dari sekadar seorang ibu bagiku, ia segalanya. Aku sangat menyayanginya. Semua perkataannya aku turuti, itu semua demi kebaikanku. Hingga suatu hari aku berdusta.
   Seragam sekolah telah lengkap kupakai. Seperti biasa di pagi hari, aku mencium masakan ibuku. Aromanya menggugah selera makanku, bahkan mungkin aromanya tercium oleh cacing-cacingku yang lapar.
  "Ratna.... Cepat makan, nanti kamu terlambat ke sekolah!" aku bergegas menghampiri ibuku yang sedang menyiapkan makanan pagi yang akan kami santap bersama. Benar saja, ia telah memasak makanan kesukaanku. Telur dadar, tumis kangkung, tempe bacem dan sebakul nasi serta secangkir kopi dan segelas susu telah tersedia lengkap di meja makan. Tentu saja makanan ini cukup untuk kami berdua. Walaupum tinggal di kota, kami tak pernah bergaya layaknya orang kota yang makan paginya hanya dengan sepotong roti dan segelas susu segar. Tentu saja tak kenyang bagi perut kami.
  "Bu, aku pamit ke sekolah ya." Aku mencium tangan ibuku dan berlalu bersama motor scoopy berwarna merah kesayanganku.
Seperti biasa, aku tak punya teman di sekolah. Mungkin bukannya mereka yang tidak ingin bergaul denganku, hanya saja aku yang terlalu menutup diriku. Entahlah. Aku merasa lebih nyaman jika sendiri. Aku sedang asik-asiknya melamun di kantin, tiba-tiba ada yang mengagetkanku.
  "Awas nanti kesurupan setan penunggu sekolah ini loh!" terdengar suara seorang lelaki yang membuatku tersadar dari lamunanku. Ternyata ia adalah kakak kelasku.
  "Ah kakak." jawabku singkat.
  "Boleh aku gabung di sini? Kau tidak makan? Biar aku yang traktir." ajak lelaki itu.
  "Baru kali ini ada lelaki di sekolah yang mendekati dan mengajaku ngobrol, ah mana sok kenal lagi, nggak penting banget". Ucapku dalam hati. Lalu kulempar senyuman manisku kepadanya.
  Setelah beberapa lama, kami mulai dekat, tak lagi aku canggung dengannya. Jujur kuakui dia sangat pandai bergaul, ia dapat mencairkan suasana dan memancingku untuk berbicara dengannya. Waktu tak terasa berlalu begitu cepat. Obrolan kami dipisahkan oleh bunyi bell masuk kelas. Sebelum masuk kelas masing-masing, ia merampas ponselku, entah apa yang ia lakukan. Sekejap ia mengembalikan ponselku.
 "Senang bisa kenalan denganmu, kamu cantik! Aku telah membuat kontaku di ponselmu, aku jg sudah memasukan PIN BBM ku, kita sudah berteman di BBM. Nanti kamu bisa curhat ke aku, dan kamu akan tau namaku!" lelaki itu berlalu, bergegas meninggalkanku yang masih terdiam di sana. Entah apa yang kurasakan, betapa senangnya aku dikatakan cantik.
  Benar saja, aku masih penasaran dengan kakak kelas itu, aku tahu dia kakak kelas dari dasi yang di pakai. Meskipun aku tak tertarik dengan lelaki itu, tetap saja ia membuatku penasaran. Aku lihat ponselku, dan aku mulai mencari kontaknya di penyimpanan telepon dan di bbm. Benar saja, dia membuat kontaknya sendiri. Namanya di ponselku ialah Rio, lengkap dengan emoticon hati.
  Bayang-bayang wajah lelaki itu masih memenuhi otaku, ah entar beberapa kali aku melihat fotonya di BBM. Entah apa yang aku lakukan, tak sengaja aku menelfonnya. Sungguh, ini bukanlah kesengajaan. Dia mulai menghubungiku dan bertanya kabarku. Tentu saja pada awalnya kubalas dengan singkat, tapi tetap saja ia membalas chatku dengan keramahannya. Hingga pada akhirnya aku mulai nyaman berkomunikasi dengannya via BBM. Sepertinya ia cocok jadi teman baik dan teman curhatku. Akhir-akhir ini semenjak kenal dengan Rio, aku selalu mengurung diriku di kamar dan asik BBM an dengannya. Tak terasa waktu berjalan, Rio mulai menunjukan tanda-tanda bahwa ia ingin memiliki hubungan lebih dari sekadar teman denganku. Meskipun tak secara langsung ia katakan bahwa ia menyukaiku, tapi aku mengerti tanda-tanda yang telah ia tunjukan melalui perhatian yang ia tunjukan terhadapku.
  "Hei kak, jangan kira aku tidak mengerti tanda-tanda bahwa kau menyukaiku, setidaknya aku pernah mempelajari ilmu semiotik untuk mengerti tanda-tanda. Termasuk juga tanda-tanda yang telah kakak tunjukan, walaupun hanya lewat BBM. Aku takut jika itu benar! Aku ingin kita berteman baik saja, aku nyaman seperti ini. Aku tak ingin berpacaran, aku tak ingin bernasib sama seperti ibuku yang ditinggal ayahku. Tolong mengertilah." isi pesanku yang masih ragu aku kirim kepada Rio. Namun secara sadar, aku mengirim pesan tersebut. Ah dalam sekejap, Rio membacanya. Dengan jantung berdebar aku menunggu balasan Rio. Dia langsung menelfonku dan mengajau bertemu di taman untuk membicarakan hal ini.
 "Jika itu maumu, aku tak akan memaksa. Mari kita bicarakan ini. Aku tunggu kau di taman dekat sekolah, kita bertemu sebentar saja. Percayalah, semuanya akan terselesaikan dan keadaan akan baik" saja." ucapnya dengan nada santai lewat panggilan gratis di BBM.
  Aku bersiap" untuk bertemu dengan Rio di taman, hatiku tak tenang jika belum menyelesaikan masalah ini.
  Sesosok lelaki kudapati telah duduk di bangku taman, ia membawa seikat bunga mawar dan cokelat. Lelaki itu adalah Rio. Wajahnya begitu menawan, berbeda dengan profilnya di BBM yang terlihat lebih jelek menurutku. Aku menghampirinya. Tidak seperti di BBM yang sangat akrab, aku hanya diam saja, kecanggungan yang amat terasa. Namu akhirnya ia seperti biasa dapat mencairkan suasana. Tak beberapa lama, entah rayuan maut apa yang ia berikan. Aku luluh terhadapnya, kami akhirnya resmi berpacaran. Sungguh ia meyakinkanku bahwa ia akan menjaga dan membahagiakanku.
  Saat itu, tak langsung aku menceritakan semuanya pada ibuku, aku bahkan tak punya nyali untuk menceritakannya. Hingga ibuku mulai menaruh kecurigaan karena aku jarang ada waktu dengan ibuku, aku lebih banyak mengurung diriku di kamar. Tak seperti biasanya. Aku tertangkap basah sedang asik telfon-telfonan dengan Rio. Di kamarku, ibu menghampiriku.
 "Siapa yang sedang kau ajak mengobrol di telfon itu Ratna, sepertinya asik sekali. Hingga kau lupa meluangkan waktu untuk ibumu ini." Ibuku mulai menunjukan tanda-tanda kecurigaan dan kekesalan karena aku jarang ada waktu untuknya.
 "Ibu, duduklah. Kali ini aku ingin menceritakan semuanya pada ibu. Ibu, aku saat ini sedang bahahia, aku sudah punya pacar seperti remaja pada umunya bu, pacarku sangat baik." kuberanikan diri bercerita pada ibuku.
 " Pacar? Lah kamu baru cerita pada ibu, kamu masih sekolah loh, fokus saja dulu pada sekolahmu!" ucap ibuku dengan nada kekhawatiran. Aku mengerti, ibu hanya takut jika sekolahku berantakan gara" aku memiliki pacar. Tapi aku tetap meyakinkan ibuku.
 "Bu, ini tidak terlalu serius kok. Justru karena Rio aku jadi semangat belajar. Dia kujadikan penyemangatku. Begitupun sebaliknya bu." terus kuyakinkan ibuku agar ia menyetujuinya.
 " Bukannya ibu melarang, tapi ibu hanya takut kamu terjerumus. Kamu seorang wanita, wanita jika tidak bisa menjaga dirinya dengan laki-laki maka ia akan terjerumus kedalam penyesalan. Apalagi diumurmu yang sangat rawan ini. Ibu hanya memilikimu saja, ibu tak ingin mutiara ibu rusak dan tak berharga lagi." terang ibuku.
  Ibuku hanya takut jika anak satu"nya ini tersesat. Meskipun begitu, aku berhasil meyakinkan ibuku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
   Singkat cerita, ada jeda semester. Aku dan Rio sama-sama memilih ekstrakurikuler Sispala, kebetulan, anak-anak Sispala akan mengadakan kemah di pinggir danau selama 3 hari agar siswa-siswanya bisa lebih dekat dengan alam. Rio adalah koordinatornya, tentu saja ia tak melewatkan masa-masanya sebelum ia lulus dari sekolah dan meninggalkan jabatannya dari Sispala. Untuk itu, akupun juga ingin ikut kemah bersama anak-anak lainnya. Akhirnya aku diberikan izin oleh ibu,walaupun sedikit sulit dan harus kuyakinkan ibu hingga ia benar-benar mempercayaiku. Setelah sampai, banyak kegiatan telah dilakukan termasuk beres-beres dan mendirikan tenda untuk tempat beristirahat. Orang-orang yang akan menempati tenda juga sudah dihitung. Aku setenda dengan 3 orang temanku di kelas. Mungkin mereka sudah memilih orang-orang yang akan mereka ajak satu tenda, tapi aku dan 3 teman lainnya itu merupakan sisa-sisa orang yang belum mendapatkan teman. Kamipun tidak begitu akrab. Mereka lebih memilih bermain ke tenda teman mereka masing-masing bahkan pada akhirnya mereka tidur di sana meninggalkanku seorang diri di tenda.
  Malam itu begitu dingin. Suasana begitu hening, paling sesekali aku dengar dengkuran dari tenda sebelah dan suara binatang-binatang malam. Semua sudah tertidur pulas, karena malam itu sudah larut. Seperti biasa, aku seorang diri di tenda. Kucoba untuk memejamkan mata, tapi tak bisa. Ketakutanku dengan sepi dn gelap membuatku tak bisa memejamkan mata, walaupun sudah kupaksakan agar mata ini terpejam. Ah.. Mungkin suara-suara alam di malam hari malah membuat tidurku tak nyenyak, karena sudah tak sanggup, kuhubungi Rio dan berharap agar ia belum tertidur. Benar saja, Rio datang. Kusuruh ia menemaniku hingga aku tertidur. Meskipun sudah memakai jaket tebal, tetap saja tubuh ini terasa kedinginan, hingga Rio melihatku menggigil. Ia memeluku dengan erat agar aku mendapatkan kehangatan. Dan aku merasa nyaman berada dipelukannya. Aku mencoba tertidur di bahunya. Beberapa saat Rio mulai ingin menciumku, meskipun tak langsung ia lakukan tetapi meminta izin kepadaku terlebih dahulu, tetap saja aku menolaknya. Seumur-umur aku belum pernah berciuman dengan lelaki. Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, aku tak ingin menjadi wanita murahana, aku hanya mau ciuman dengan lelaki yang akan menjadi suamiku kelak, bahkan kesucianku akan kuberikan pada suamiku kelak. Saat ini belum saatnya, dan aku masih takut. Tak ingin ku ingkari janji itu. Aku mencoba untuk mejelaskannya pada Rio, namun sekali lagi gagal. Rio meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Rio mencium keningku, berlanjut hingga kami melakukan ciuman pada bibir bahkan sesekali bermain lidah. Sungguh kami berdua menikmatinya ketika semua orang sudah tertidur pulas. Berlanjut hingga ke nafsu berahi, kami melakukan perbuatan terlarang, kami bercinta larena keheningan malam. Aku sempat menolak ajakannya, tapi aku terbui. Aku terlalu polos saat itu, aku menuruti saja apa perkataannya. Rio meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Malam itu memang indah, sedikit dingin tapi cuaca cerah dengan taburan bintang yang menghiasi langit. Malam itu menjadi saksi bisu bahwa aku telah berdusta dan mengingkari janjiku pada diriku dan ibuku.
   Waktu berganti begitu cepat. Dua minggu setelah kemah, aku merasakan tubuhku lebih cepat kelelahan, tak seperti biasanya. Mual sering kurasakan begitupun dengan sakit kepala yang begitu hebatnya. Terkadang aku muntah-muntah, aku mulai ketakutan dan berpikir yang tidak-tidak. Aku takut, jika hal yang paling aku takutkan terjadi. Kuberanikan diri untuk membeli tespack di apotek. Diam-diam kucoba tespack itu kucampurkan dengan urineku. Dan hasilnya, ahhh tidak! Aku hamil, tespack itu menunjukan positif, positif aku tengah hamil. Kuhubungi Rio, aku menangis tersedu-sedu. Ia mencoba untuk menenangkanku dan ia berjanji akan bertanggungjawab dan menikahiku. Tetap saja, aku takut dengan ibuku. Apa yang akan kukatakan pada ibuku, bagaimana dengan sekolahku, sungguh dunia ini begitu kejam untuku. Rio mencoba meyakinkan keluarganya. Bahkan aku diajak kesana. Tapi sayang, keluarganya tak mengizinkan, mereka tidak percaya kepadaku bahkan Rio. Mereka mengusirku, mengatakanku wanita menjijikan dan mereka menghinaku habis-habisan. Aku diusir, Rio sudah berusaha membelaku namun gagal, ia tunduk kepada orang tuanya. Mereka mengusirku. Dalam perjalanan pulang, langkahku berayun begitu saja, entah kemana kaki ini akan melangkah. Aku malu bertemu ibuku, tak sanggup rasanya aku mengatakan semuanya pada ibuku. Di saat-saat seperti ini, aku ingin merasakan pelukan ibu, belaian tangan ibu di rambutku dan kecupan ibuku. Tetapi aku malu. Benar kata mereka, aku ini menjijikan. Beginilah akibatnya jika aku berdusta pada ibuku. Rio bahkan tak mengejarku karena orangtuanya mengurungnya. Kakiku terus melangkah, bukan rumahku yang dituju. Melainkan sebuah jembatan dengan jurang yang cukup curam. Aku sudah tak bisa memikirkan apalagi, meski hati ini berkata tidak, tapi raga dan pikiran ini terus saja mendorongku untuk melompati jurang itu. Ya aku mengakhiri hidupku dengan melompati jurang, aku sudah tak bisa berpikir dengan akal sehatku, namun sebelum kuakhiri hidupku dengan melompati jurang, kukirim pesan singkat kepada ibuku.
  "ibu, selamanya aku menyayangimu. Maafkan semua kesalahaku bu. Aku telah berdusta dan menyakitimu." salam sayang putrimu,mutiaramu yang memudar. Pesanku telah terkirim. Aku melompat dari jembatan, tubuhku terasa sangat sakit, terasa darah mengalir dari sekujur tubuhku. Betapa bodohnya aku, aku telah membunuh kehidupan lain, ya kehidupan hasil perbuatan terlarangku. Aku merintih, hingga akhirnya tak lagi kurasakan detak jantungku. Jiwaku pergi, entah bagaimana selanjutnya, aku sudah tidak mengetahui apapun lagi yang berkaitan dengan duniawi.
                                  ***



Guys sebagai remaja kita boleh kok memiliki pacar tapi ingat pikirkan masa depan kita sebagai seorang remaja. Jangan terjerumus dalam kondisi yang tidak seharusnya dirasakan ketika remaja. Bekali diri dengan dengan sebanyak mungkin ilmu pengetahuan, rajinlah beribadah dan patuhilah perintah orang tuamu karna orang tua tidak pernah menjerumuskan anaknya ke hal yang tidak baik.
#tolong renungkan terutama bagi seorang wanita  :):):)

54 komentar:

  1. Ditunggu cerita selanjutnya kakak😊

    BalasHapus
  2. Waahh😯😯😯terimakasih nasihatnya

    BalasHapus
  3. untung aku manusia yang berguna

    BalasHapus