Sang Pemimpi
Oleh : Ninit Mita Dewi
Kehidupan bukanlah impian, kehidupan bukanlah khayalan, kehidupan adalah kenyataan. Tapi, Impian dan khayalan juga ada dalam dunia fana ini. Setiap kejadian dalam hidup harus dijalani dengan penuh keyakinan dan kesabaran. Dalam hidup ada impian, setiap orang punya mimpi, setiap orang bisa bermimpi, berkhayal, namun di dunia ini, hidup ini adalah kenyataan bukan khayalan bahkan sebuah impian. Jika berlarut-larut dalam sebuah mimpi dan dunia khayalan bisa menyakitkan bagi diri sendiri.
Hai, namaku Nita. Aku sudah lulus SMA tahun lalu. Keluargaku bukanlah dari kalangan kelas atas, tapi keluarga yang sederhana namun aku tak kekurangan kasih sayang dari keluargaku. Ayahku seorang buruh, kerjanya serabutan, penghasilannya tiap hari tak menentu, terkadang tinggi terkadang juga rendah. Dan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga saja. Dahulu, ketika bersekolah, aku terkenal sebagai anak yang selalu tersenyum dan ceria. Aku yang semula terlihat ceria dengan senyum manis yang mengembang di bibir kecilku serta canda tawa yang tak pernah pudar kini telah berubah. Kata ayah, aku selalu terlihat murung. Kantong mataku semakin terlihat jelas, mataku sembab. Pantas saja, aku memang sering menangis. Air mataku mungkin bisa habis karena terus-terusan menangis. Aku menangis bukan karena tak ada alasan. Berawal dari impian dan harapanku untuk masuk ke perguruan tinggi pada tahun 2017 itu sirna. Sebelum tamat SMA, aku dan teman-temanku sibuk membicarakan masa depan, mereka dengan semangat membahas tentang kelanjutan pendidikan mereka setelah tamat SMA nanti, begitu juga denganku. Aku telah memiliki rencana dan pilihan untuk tempatku melanjutkan pendidikanku, mengejar cita-citaku menjadi wanita karir yang sukses. Tapi sayangnya, semua itu tak bisa terwujud karena orang tuaku tak mampu untuk membiayai kuliahku. Apalagi aku ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Hm… yaya. Aku mengerti itu. Aku tak ingin membebani keluargaku karena egoku. Mungkin ini konsekuensi yang harus diambil, aku tidak akan bisa melanjutkan kuliah dan menggapai impianku. Hal-hal itu selalu terbesit dalam pikiranku.
Hari-hari kulewati dengan kegiatan yang bermanfaat. Misalnya, membantu orang tuaku. Terkadang, aku ikut ayah bekerja sebagai buruh. Walaupun seorang wanita, tak menjadi penghalang untuku bekerja sekeras itu. Lama-lama aku bosan juga terus seperti ini, rasa bosan terus saja datang tanpa kuundang. Karena bosan, aku memutuskan untuk mencari pekerjaan. Berbekal ijazah SMA yang nilai-nilainya sangat memuaskan. “Banyak orang yang memiliki ijazah S1, tapi sampai sekarang mereka masih sulit mendapatkan pekerjaan. Banyak lulusan-lulusan tinggi dari berbagai jurusan masih menganggur sampai sekarang, jika aku mau mencoba, percaya diri dan yakin pada diriku sendiri pasti aku bisa.” Hal itu lah yang menjadi penyemangatku dalam mencari pekerjaan. Tapi, pikiran negatif juga terkadang menghampiriku. “Orang-orang yang sudah lulus S1 saja mencari pekerjaan susahnya minta ampun, apalagi aku yang hanya memiliki ijazah tamatan SMA yang di sekolah lebih banyak diberikan materi dengan praktek yang sangat minim, bukan ijazah tamatan SMK” ah tidak…. Nyaliku kembali menciut. Helaan nafas panjang mengawali langkahku untuk kembali berjuang mencari pekerjaan. Demi mengubah masa depanku. Aku terus melangkah dengan optimis.
Tiba-tiba aku ingat dengan kakak kelasku dulu. Namanya kak Indah. Gosip-gosip yang telah beredar luas tengah membicarakan kak Indah yang sudah bekerja dan kini menjadi seorang manager di sebuah perusahaan yang cukup besar dan memiliki cabang di beberapa daerah di Indonesia. Akhirnya aku pergi kesana, dan menitipkan surat lamaranku kepada kak Indah. Kami cukup dekat dulu ketika SMA, kak Indah yang sekarang masih sama baiknya seperti kak Indah yang kukenal saat SMA dulu. Setelah menitipkan berkas lamaran pekerjaan, kak Indah menelfonku. “Ta, besok kamu menghadap bos ya untuk tes wawancara.” Ucapnya dengan nada yang begitu lembut. Wah betapa senangnya aku, aku menebak-nebak bahwa aku akan diterima bekerja di sana. Keesokan harinya, aku sudah bersiap untuk berangkat menghadap calon bosku. Tak lupa meminta doa restu kepada orang tuaku dan meminta tolong kepada sahabatku untuk mengantarku. Sahabatku itu namanya Diana. Ia dengan setia menungguku di luar, sedangkan aku berjuang di dalam ruangan yang suasananya sedikit menyeramkan dan menegangkan. 30 menit waktu telah berlalu, aku selesai mengikuti tes wawancara dari calon bosku. “Gimana rasanya Nit, udah lega? Sudah bertemu dengan calon bos?”. Diana melemparkan banyak pertanyaan kepadaku. “Ishh kau ini… penuh pertanyaan, berikan aku menghela nafas sebentar.” Kujitak jidat Diana yang lebar itu. Setelah itu, aku menraktir Diana makan bakso di warung favoriteku.
Aku lupa, aku belum mengatakan apapun kepada orangtuaku masalah aku melamar pekerjaan ini. Ah, mereka pasti setuju dan sangat senang jika aku sudah mendapat pekerjaan. “Makasih banyak ya kamu sudah mau menemaniku hari ini.” Ucapku pada Diana saat aku sudah sampai di rumah. Diana itu cowok yang keren dan calm. Eeeeh, dia sahabatku. Akan tetap jadi sahabat baiku sampai kapanpun. Aku terus menunggu kabar dari perusahaan itu, setiap hari aku tak bisa lepas dari telepon genggamku. Berharap, perusahaan yang kuikuti tes wawancaranya itu menghubungiku. Seminggu kemudian, akhirnya mereka menghubungiku. Dengan penuh semangat aku menyimak hasil wawancaraku, dan terbesit dipikiranku bahwa hari ini aku akan mengatakannya kepada orang tuaku. Ah tapi sayang…. Aku belum beruntung. Sedikit kecewa, aku tidak diterima di perusahaan itu. Ya mungkin karena ijazahku. Ah, aku tak boleh berlarut-larut dalam kekecewaan dan kesedihanku ini, aku harus bangkit dan terus berusaha, masih banyak peluang, masih banyak kesempatan untuku. Aku tak ingin berlarut dalam keterpurukan ini. Aku tetap bersikeras, mencoba untuk melamar pekerjaan ke tempat-tempat lainnya. Mulai dari pertokoan, perusahaan, restoran, supermarket dan tempat-tempat yang ada peluang kerjanya. Tetap saja, hasilnya nihil. Sebegitu kerasnya aku berusaha namun tak membuahkan hasil. “Ah manusia jenis apa aku ini, selalu gagal! Bagaimana caraku bisa mengubah nasib jika seperti ini.. ah payah! Wanita payah! Lemah! Tak pernah beruntung!” aku menyalahkan diriku, aku kecewa pada diriku sendiri. Isak tangisku, aku biarkan begitu saja.
HPku berdering, ada pesan masuk. ‘sabar teman, semua butuh proses, semua akan baik pada waktunya’ isi pesan dari nomor yang tak dikenal. Ah itu adalah teman lamaku ketika di SMA. Dahulu, setiap aku mengeluh padanya, kata-kata itulah yang selalu ia katakan kepadaku. Entah dimana sekarang ia, kenapa ia bisa tahu jika aku sedang terpuruk sekarang. Nampaknya aku mengetahui, ia mengetahui keadaanku karena telah membaca statusku di facebook. Yaya benar. Entah dimana dia sekarang, aku dan dia dahulu teman baik, sangat baik. Kini kami hanya bisa berkomunikasi lewat pesan. Ya setidaknya dia masih peduli padaku. Waktu terus saja berputar, ia tak lelah berhenti sedetik saja. 6 bulan telah berlalu, terasa begitu cepat. Namun, bagiku itu cukup lama karena aku menanti kapan aku bisa mendapat pekerjaan. Pikiran-pikiran untuk membahagiakan orangtua yang selalu gagal terus menghantuiku. Mereka memang tak pernah memaksaku untuk bekerja, tapi dalam lubuk hati mereka yang paling dalam pasti ingin melihat anaknya sukses. Aku anak semata wayang, jadi mereka tak ingin jauh-jauh dariku. Karena itulah, dulu aku tak diperbolehkan untuk melamar pekerjaan di kota. “Bekerja di kota, belum tentu akan mengubah nasib. Kamu di sana tak ada yang mengurus selain dirimu sendiri, berat. Apalagi hidup di kota itu berbeda dengan kehidupan di desa, di tempat tinggal kita saat ini. Hidup di sana itu keras, penuh persaingan.” Kata-kata ayahku yang membuatku kembali berpikir untuk bekerja di luar kota seorang diri. Namun, di sisi lain. Aku ingin hidup mandiri, apalagi sekarang sudah beranjak dewasa walaupun ayahku pernah berkata “Apa sih yang kamu cari di luar kota? Uang? Kita tidak kekurangan uang kok, percuma juga punya uang banyak tapi hidup tak bahagia.” Ah saat itu aku sedikit kesal, aku ingin ayahku mengerti bahwa aku ingin hidup mandiri, aku bukan anak yang manja dan selalu bergantung pada orang lain.
Sekali lagi, aku tak ingin bermimpi ataupun berkhayal, akan sangat menyakitkan. Suatu hari, ibuku member ikabar bahwa sepupuku, Kak Putri sudah naik jabatan menjadi manager di sebuah hotel. Bergegas aku menghubunginya dan meminta sedikit waktu untuk bertemu, mengobrol dan mengucapkan selamat kepadanya. Bagaimanapun, ia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Aku mengunjungi rumahnya, dan membawakan beberapa makanan hasil masakan ibu yang mungkin sangat ia sukai dan rindukan. “Wah,, makanan bibi.. sudah lama aku tak merasakannya lagi. Tahu betul aku sedang lapar.” Ia senang bukan main karena aku berkunjung ke rumahnya. “Ia dong, kamu sudah sangat sibuk kak. Dengar-dengar ada yang sudah naik jabatan nih.. hmm, apa yah namanya, m…a… m…a, oh ya manager hotel. Huala boleh nih kayaknya aku ngelamar kerja di tempatmu, sudah lama aku menganggur” celetuku kepada kak Putri. “Wah, serius ingin bekerja? Di hotel lagi perlu Front Office sih, kerja sedikit berat. Tapi setahuku kamu di SMA mengambil jurusan Bahasa, dan aku tahu juga kamu cukup menguasai bahasa asing terutama bahasa Inggris.” Ucap kak Putri memberikanku harapan. “tenang saja kak, walaupun berbekal ijazah SMA, tapi dahulu aku pernah ikut les bahasa inggris gratis, dan belajar serta praktek langsung bersama bule-bule. Jadi aku sudah lumayan fasih berbahasa inggris.” Aku meyakinkan kak Putri bahwa aku layak bekerja di tempatnya.
Yey, akhirnya. Aku bekerja bersama sepupuku. Dia atasanku, namun begitu gajiku per tahunnya selalu meningkat sedikit demi sedikit. Bukan karena manager itu adalah sepupuku, kami menjaga keprofesionalan, bos menyukain kerjaku. Tambahan pekerjaan, menjadi seorang resepsionis. Mungkin ini akan menjadi langkah awal untuk membahagiakan diri sendiri, orang tua, dan orang yang ada di sekitarku. Hari ini, tepat aku menerima gajiku yang ke lima. Ingat betul ketika aku menerima gajiku yang pertama, betapa senangnya aku, kuberikan sebagian kepada orang tua, sebagian aku tabung untuk kebutuhanku. Dan sekarang sudah gaji yang kelima saja. Apa yang aku inginkan, mulai dari sesuatu yang sederhana sudah bisa kubeli dan kudapatkan sendiri tanpa membebani orang tua lagi. Namun gaji kelima, belum ada di tangan, bos memanggilku untuk ke ruangannya. Jantungku berdebar, sungguh aku begitu takut, aku takut telah melakukan kesalahan karena teman-temanku yang lain di sana sudah mendapatkan gaji semua. Hanya aku yang belum. Dengan perasaan yang bercampur aduk, perasaaan tegang, perlahan aku memasuki ruangan bosku. Kutarik nafas sepanjang-panjangnya. Jantung ini berdegup tak beraturan. Aku mengetuk pintu dengan pelan dan mengatakan permisi. “Iya silahkan masuk, dan silahkan duduk Nita.” Ucap bosku dengan suaranya yang cukup tinggi hingga membuatku semakin ketakutan. Aku memberanikan diri untuk bertanya. “ Ada apa ya bapak memanggil saya, apakah ada yang bisa saya bantu atau kerjakan pak.?” Aku berusaha tetap tegar meskipun jantung ini rasanya mau copot. “Begini Nita, semenjak kamu bekerja di sini, saya lihat karyawan yang lain jadi lebih rajin dan bersemangat untuk bekerja. Pemikiran-pemikiranmu juga sangat luar biasa, kamu orang yang mudah bergaul, banyak sekali hal yang telah kamu lakukan untuk kemajuan hotel ini. Saya baru mengetahui bahwa Putri adalah kakak sepupumu, kerjamu sangat supel seperti Putri. Saya akan menaikan jabatanmu menjadi manager di hotel ini, menggantikan Putri yang saya pindah tugaskan ke cabang lainya. Apakah kamu siap?” Kata-kata bos itu berhasil membuatku menganga dan bengong, kucoba untuk mencubit pipiku cukup keras dan aw… sakit sekali. Ternyata bukan mimpi, bukan khayalan. Aku akan menjadi seorang manager di hotel. Dari saat itulah aku tidak takut untuk bermimpi, tidak takut lagi jika kebanyakan bermimpi dan berkhayal akan membuat kita jatuh dan sakit. Karena, mimpi, khayalan, kenyataan itu tidak dapat dipisahkan. Aku ingin mengumpulkan uang untuk mengajak ibu, ayah, dan keponakanku terbang ke Negeri Kincir Angin. Itulah mimpi, khayal, yang harus aku buat menjadi nyata.
Jangan pernah takut bermimpi. Bermimpilah setinggi bintang dan bila kamu jatuh kamu akan jatuh di antara bintang - bintang.
